Jumat, 09 Maret 2012

Dzat Allah SWT

Pernahkah Anda berpikir perihal larangan memikirkan Dzat Allah SWT?  Nyaris semua orang akan menasihati Anda untuk berhenti saja berusaha.  Nyaris semua orang.  Saya tidak menganjurkan demikian.  Kalau memang Anda ragu dengan larangan tersebut, maka cobalah!  Persiapkan diri Anda, dan mulailah berpikir!
Seorang teman pernah bertanya : "Mengapa kamu percaya pada sesuatu yang tidak jelas bentuknya dan tidak pernah bisa dipahami keberadaannya?".  Saya tahu ia sedang menyindir keyakinan saya pada Tuhan.
Kebanyakan orang akan berpikir bahwa teman saya itu telah menggunakan logikanya dengan benar.  Demikianlah penggunaan akal sehat yang benar.  Akalnya tidak salah.  Tetapi, agama juga tidak salah.  Lalu mana yang benar?  Apakah agama dan akal memang tidak pernah akur?  Segala sesuatu yang "logis" biasanya juga "bisa dipahami".  Sekarang, saya akan membuktikan bahwa ada juga hal yang "logis" namun tidak bisa dipahami.  Justru hal semacam ini tidaklah logis jika bisa dipahami.
Bingung?  Bagus.  Berarti Anda masih menyimak.
Kita tidak akan memberikan kritik pada agama-agama lain di dunia, karena apa pun keyakinan mereka adalah urusan mereka.  Enam ayat dalam surah Al-Kaafiruun sudah sangat cukup untuk menggambarkan sikap seorang Muslim terhadap umat beragama lainnya.  Akan tetapi, cukup bermanfaat jika kita mengingat fakta bahwa dari seluruh agama dan kepercayaan di dunia ini, Islamlah satu-satunya agama yang tidak memiliki gambaran fisik tentang Tuhan.  Bahkan dalam sekte paling sesatnya sekalipun, tidak ditemui satu pun penggambaran sosok Allah SWT.  Inilah salah satu ciri khas Islam.  Sungguh wajar jika kita menemukan larangan untuk memikirkan Dzat Allah dalam ajaran Islam.
Wajarkah manusia beriman pada sesuatu yang tidak jelas wujudnya secara material?  Ijinkanlah saya untuk balik bertanya : wajarkah manusia beriman pada sesuatu yang jelas wujudnya dan dapat dipahami dengan akal?
Jelasnya begini.  Tuhan Maha Melihat.  Semua agama sepakat.  Tidak ada agama yang menuduh Tuhannya lengah dalam menyaksikan suatu peristiwa, sekecil apa pun itu.  Apakah ini berarti Tuhan punya mata?  Jika ya, bagaimana bentuknya?  Masing-masing agama punya penggambaran Tuhannya sendiri-sendiri.  Bahkan suku-suku terasing pun punya caranya sendiri untuk menggambarkan Tuhan.  Semua sosok 'Tuhan' itu memiliki mata.  Hanya Islam yang tidak punya gambaran tentang mata Tuhan, walaupun sama-sama meyakini bahwa Tuhan memang Maha Melihat.
Bagaimanakah bentuk mata Tuhan?  Seperti mata manusia?  Mata manusia memang dikenal canggih, karena menyebabkan kita mampu melakukan persepsi tiga dimensi.  Kalau kita hanya memiliki satu mata saja, maka kita akan sulit melakukan perhitungan jarak.  Kelebihan lainnya lagi, mata manusia indah dilihat dan berkarakter.  Setiap orang memiliki bentuk mata yang unik dan berbeda-beda.  Hewan tidak memiliki keragaman seperti ini.
Akan tetapi, mata manusia hanya bisa menatap ke depan dan ke samping hingga batas tertentu.  Ia tidak bisa melihat ke belakang.  Apakah Tuhan bisa memiliki sifat Maha Melihat dengan mata yang serba terbatas seperti ini? 
Sekarang, pikirkanlah tubuh Tuhan.  Bagaimanakah gambaran dalam benak Anda tentang Tuhan?  Apakah Anda membayangkan Yesus Kristus, Buddha, atau Wisnu?  Atau tubuh Tuhan itu seperti raksasa, semacam Zeus, Neptunus, atau Atlas?  Sekilas, cara penggambaran ini terlihat sangat logis.  Tubuh manusia memang merupakan instrumen paling sempurna yang ada di muka bumi ini.  Wajar kalau kita membayangkan Tuhan memiliki tubuh seperti manusia juga.  Sosok raksasa memberikan kesan berkuasa yang sangat kuat.  Wajar pula jika masyarakat Yunani kuno menggambarkan dewa-dewinya dalam sosok raksasa.
Apakah semua penggambaran ini memang sesuai dengan logika?
Apa pun penggambaran fisiknya, jika kita mampu membayangkannya dalam benak kita, maka pastilah ia memiliki ukuran.  Artinya, ia mengisi ruang, memiliki luas permukaan dan volume.  Hal ini sangatlah manusiawi, karena memang kita selalu hidup dalam dimensi ruang.  Benda sekecil bakteri pun memiliki ukuran.  Sebaliknya, sebuah galaksi pun bisa diukur panjang-lebarnya.  Kita memang belum menemukan metode yang akurat benar untuk mengukurnya, akan tetapi ia pasti bisa diukur, karena masih menempati dimensi ruang.  Kesimpulannya, jika kita bisa membayangkan wujud Tuhan, maka itu artinya Tuhan menempati dimensi ruang, seperti kita dan benda-benda lain di alam semesta ini.
Dimensi ruang?  Hei, tunggu dulu!  Lalu siapa yang menciptakan dimensi ruang ini?
Logiskah membayangkan Tuhan yang terkurung dalam sebuah dimensi ruang yang telah Dia ciptakan sendiri?  Logiskah membuat kesimpulan bahwa Tuhan bisa dibatasi oleh hasil ciptaan-Nya sendiri?  Kalau Tuhan terbatas oleh dimensi ruang, lalu apa bedanya dengan makhluk?  Kalau Tuhan memiliki ukuran terbatas, maka ia pun membutuhkan suatu jangka waktu untuk mencapai suatu jarak.  Ini adalah sebuah konsekuensi dari segala sesuatu yang mendiami dimensi ruang dan waktu.  Lalu apa pula yang dimaksud dengan dimensi waktu?
Pertanyaan soal dimensi waktu bisa sama menariknya.  Pertanyaan paling favorit adalah mengenai taqdir (qadha dan qadar).  Pertanyaannya : segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita ini adalah hasil dari serangkaian persamaan, ataukah memang sudah digariskan oleh Allah?  Ada yang bilang bahwa semuanya adalah hasil perbuatan kita.  Karena itu, baik-buruknya nasib kita adalah cerminan dari usaha kita sebelumnya.  Ada juga yang bilang bahwa semuanya telah ditentukan oleh Allah.  Karena itu, kita tidak perlu repot-repot.  Kalau sudah jodoh, tak akan lari kemana pun.  Sit back, relax, and let destiny do the job!
Permasalahan ini tidak perlu terjadi kalau saja kita mau berhenti berpikir sebagai Tuhan.  Sampai kapan pun, manusia adalah manusia, bukan Tuhan.  Pertanyaan di atas muncul karena ada perasaan 'tidak rela' dalam hati manusia kalau ia tidak memiliki pilihan.  Apa pun yang ia perbuat, Allah telah menentukan takdirnya.  Hal itu amat sangat tidak menyenangkan.  Akan tetapi, ini bukan masalah selera.  Kita harus objektif dan mau menerima kenyataan.
Kenyataannya, dimensi waktu adalah ciptaan Allah.  Manusia terkurung dalam dimensi waktu.  Hari kemarin tidak akan kembali lagi, sementara hari esok masih merupakan misteri.  Itulah faktanya.  Manusia dibatasi oleh dimensi waktu.  Tapi Allah tidak demikian.  Wajar, karena Allah sendirilah yang telah menciptakan dimensi waktu.  Bagi Allah, tidak ada misteri masa depan.  Segalanya telah diketahui-Nya dengan jelas.  Manusia memang beda dengan Tuhan.  Kita harus menerima kenyataan itu, atau depresi hingga akhir hayat.
Allah SWT memang melarang manusia untuk memikirkan Dzat-Nya.  Larangan ini tidak diberikan tanpa sebab.  Manusia boleh saja mencoba memikirkan hal itu, tapi tidak akan pernah berhasil.  Masalahnya, Allah itu sama sekali tidak sama dengan apa yang pernah kita jumpai di alam semesta ini.  Apa pun yang kita jumpai di dunia adalah sesuatu yang mendiami dimensi ruang dan waktu ; dengan kata lain, dibatasi olehnya.  Allah adalah Dzat yang tidak mungkin dibatasi oleh apa pun, karena Dia-lah yang menciptakan segala sesuatunya. 
Tuhan memang tidak bisa dipahami sepenuhnya.  Inilah penjelasan paling logis dan ilmiah.  Justru sangatlah tidak logis kalau Dia bisa dipahami sepenuhnya oleh akal manusia.  Kalau bisa dipahami, jangan-jangan suatu hari nanti manusia akan menciptakan senjata yang bisa digunakan untuk mengkudeta Tuhan.  Lagi-lagi tidak logis.
Kita tidak bisa memahami Dzat Allah SWT.  Tidak paham, tapi kita bisa menyatakannya sebagai sesuatu yang sangat logis.  Kalau kita mencari jawaban yang paling logis, maka jelaslah bahwa manusia memang tidak akan pernah memahami Dzat Allah.  Terjawab, bukan?
wassalaamu'alaikum wr. wb. 

" Kita tidak bisa memahami Dzat Allah SWT. Tidak paham, tapi kita bisa menyatakannya sebagai sesuatu yang sangat logis. Kalau kita mencari jawaban yang paling logis, maka jelaslah bahwa manusia memang tidak akan pernah memahami Dzat Allah. Terjawab, bukan?.................

adalah pengakuan jujur dari penulis, alangkah lebih lengkapnya kalo disebutkan sekalian bahwa cara memikirkan DZAT ALLAH ialah dengan ALLAH SWT,Allah adalah ALLAH, BUKAN TUHAN ATAU DEWA, Allah tidak menempati dimensi ruang dan waktu, karena demensi ruang dan waktu adalah ciptaanNya.DZAT ALLAH ADALAH SANGAT AMAT MAHA SEMPURNA, [ mohon maaf penjelasan saya ini khusus bagi yg pernah merasakan kekuasaan Allah walau hanya sekejab karena yg belum pernah merasakan pasti tidak akan sampai ].dalam DZAT ALLAH ITU TUNGGAL UTUH DAN BENTUKNYA SANGAT AMAT MAHA SEMPURNA.seperti surat Al Iklas.

satu contoh :

DZAT ALLAH RAHMAN, ALLAH bisa merahmani semua mahluknya yg hidup atau mati secara bersamaan dalam waktu yg bersamaan atau terusmenerus disemua tempat di seluruh jagat raya baik yg makro kosmos atau yg mikro kosmos bahkan yg tidak ada ukuran sekalipun karena ukuran kan ciiptaan manusia. karena tidak ada lagi bahasa atau ukuran yg bisa menjangkauNya.

contoh berikutnya :
DZAT ALLAHU AKBAR besarnya itu ukuran besar yang UTUH TUNGGAL DAN SEMPURNA, tidak akan pernah ukuran manusia dan mahluk apapun yg bisa menaksir atau mengukurnya, tapi bisa meliputi ukuran makro, manusia, mikro bahkan yg tak berukuran sekalipun. secara bersamaan atau terus menerus. jelas akal dan logika manusia tak nyampai, hanya haq qul yakin dan keimanan tingkat nabi, rasul dan siapapun yg dikehendakiNya Insya Allah bisa memahami, sebap DZAT ALLAH itu bisa kita cerna dengan rasa syukur dan sabar yg sempurna, laksanakanlah Qur an secara sempurna untuk menghadap Allah dan sunah rasulnya untuk berhablum minannas insya Allah akan ketemu DZAT ALLAH YANG AHAD.

kepada Allah hamba mohon petunjuk dan bimbinganNya, semoga kita semuanya selalu diberikan hidayah sirothol mustaqim. Amin



Allah itu bukan zat. Tidak ada dalam Al-Quran yang mengatakan Allah itu zat. Allah itu bukan zat, Allah itu Ahad, bukan sistem. Laysa kamitslihi. Wa lam yakun lahu kufuwan Ahad.

Zat itu merupakan satu kesatuan sistem yang terdiri atas komponen-komponen partikel dan energi.

Tulisan "dzat" dengan "zat" itu berbeda lho. Dzat yang saya maksud bukanlah seperti zat cair, zat padat, atau materi. Dzat yang dimaksud adalah "hakekat", hal yang mendasar yang membedakan antara sesuatu dengan yang lainnya, yang membedakan antara Allah dengan manusia, yang membedakan antara kucing dengan kambing.

"DZAALIKUMULLAAHU RABBUKUM"

Q.S 6:95,
  
95. Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (yang memiliki sifat-sifat) demikian ialah Allah, Maka mengapa kamu masih berpaling?


Q.S 6:102,
 
102. (yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain dia; Pencipta segala sesuatu, Maka sembahlah dia; dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu.


Q.S 10:3,
 
3. Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan. tiada seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian Itulah Allah, Tuhan kamu, Maka sembahlah Dia. Maka Apakah kamu tidak mengambil pelajaran?


Q.S 39:6,
  
6. Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan[1306]. yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan. tidak ada Tuhan selain dia; Maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?

[1306] Tiga kegelapan itu ialah kegelapan dalam perut, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang menutup anak dalam rahim.


Q.S 40:62,
 
62. yang demikian itu adalah Allah, Tuhanmu, Pencipta segala sesuatu, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia; Maka Bagaimanakah kamu dapat dipalingkan?


Q.S 42:10,
  
10. tentang sesuatu apapun kamu berselisih, Maka putusannya (terserah) kepada Allah. (yang mempunyai sifat-sifat demikian) Itulah Allah Tuhanku. kepada-Nya lah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar