Jumat, 09 Maret 2012

Mengapa Paulus menjadi Kristen?

oleh Ioanes Rakhmat pada 08 Juni 2011 jam 17:33
Mengapa Paulus bertobat, dari seorang penganiaya dan pembunuh orang Kristen perdana, menjadi rasul (atas keputusannya sendiri, dengan melantik dirinya sendiri sebagai rasul) dan pemberita injil Kristen yang paling bersemangat dan paling produktif?

Jawabnya bukan bahwa pertobatan Paulus terjadi karena roh Yesus Kristus yang mengubahnya, sehingga agama Kristen terbukti benar! Bukan! Pertobatan seseorang, pindak ke sebuah agama baru, adalah sebuah keputusan pribadi yang bisa terjadi karena banyak faktor, yang tidak harus mengindikasikan agama barunya benar.

Lagi pula, kebenaran setiap agama relatif dan serba tak pasti, karena hanya diterima dalam iman dan kepercayaan, bukan berdasarkan bukti-bukti objektif.

Klaim seseorang bahwa roh Allah atau roh kudus berbisik-bisik langsung di telinganya memberitakan kebenaran suatu agama, sebenarnya menunjuk pada satu masalah, bukan masalah di surga, tetapi masalah pada otak orang ini yang sedang terganggu pada bagian-bagian tertentu.

Paulus berubah, dapat dengan objektif dijelaskan: karena Paulus merasa sangat berdosa telah menjadi penganiaya sesama manusia yang berbeda keyakinan, yakni orang-orang yang dikatakan mengikut sang jalan (= orang Kristen). Perasaan berdosa bisa timbul dari dalam hati dan pikiran Paulus sendiri bukan karena intervensi roh Yesus atau penampakan Yesus yang bercahaya (tentang ini, akan diulas di bawah), melainkan karena Paulus sangat tahu bahwa agama Yahudinya melarang keras orang menganiaya dan membunuh sesama manusia. Sebelum menjadi Kristen (alirannya sendiri), Paulus, sebagai seorang Yahudi dari suku Benyamin, adalah seorang yang sangat menaati dan menguasai semua hukum Taurat, dan dibesarkan secara intelektual dalam mazhab Farisaisme.
 
Perasaan bersalah dan berdosa yang terus-menerus menerpa seseorang dapat membuatnya depresif, lalu jadi gila, lalu masuk rumah sakit jiwa; tetapi juga dapat dengan aman diatasi dengan mengubah diri sendiri secara drastis. Nah, Paulus menempuh jalan kedua: mengubah diri secara drastis, dan saking drastisnya dia pindah agama, pindah keyakinan, menjadi seorang pengikut jalan Tuhan (= agama Kristen).

Bahwa Paulus pindah agama, masuk ke "jalan Tuhan", agama Kristen, adalah sebuah fakta yang tak pernah diragukan siapapun, dulu maupun kini. Tetapi yang masih jadi persoalan, adalah ihwal dari mana kita tahu, bahwa Paulus pernah merasa sangat berdosa dan bersalah, yang diatasinya dengan pindah agama? Kita bisa tahu isi perasaan, pikiran, dan keadaan kalbu seseorang antara lain dari apa yang ditulisnya, khususnya tulisan dalam bentuk surat. Isi tulisan atau isi sebuah surat menyingkapkan keadaan hati, isi pikiran serta motif si penulisnya. Begitu juga dengan Paulus.

Untuk memberi pembenaran keagamaan pada pertobatannya dari dosa-dosa beratnya, Paulus-lah orang pertama yang mengonstruksi doktrin pengampunan dosa dan pembenaran manusia lewat kurban Yesus, dan doktrin ini ditulisnya dalam surat-suratnya, terutama dalam surat Roma. Doktrin ini Paulus bangun pertama-tama untuk membenarkan dirinya sendiri, melepaskan dirinya dari beban berat rasa berdosa dengan memproyeksikan dan menimpakan dosanya ini pada Yesus yang menurutnya dikurbankan Allah untuk menebus dosa manusia (baca: dosa Paulus sendiri) dan mendamaikan diri manusia (baca: diri Paulus sendiri) dengan Allah yang suka darah manusia ini!! Teologi memang dapat dengan mudah digunakan sebagai politik!

Perlu diingat bahwa Martin Luther di Jerman abad ke-16 juga memanfaatkan soteriologi salib buatan Paulus (di abad pertama), lewat pembacaannya atas surat Roma, untuk pertama-tama membebaskan dirinya sendiri dari perasaan tak layak dan penuh dosa yang terus menghantui dirinya sebagai seorang imam, sebelum akhirnya dia tampil sebagai seorang pendiri gereja Protestan (dikehendaki atau tidak dikehendaki olehnya) yang lantang menyuarakan teologi "pembenaran hanya lewat iman" (sola fide) dalam melawan teologi sinergisme Gereja Katolik Roma pada zamannya (bahwa amal dan perbuatan manusia juga menentukan keselamatan manusia, bersinergi dengan rakhmat Allah) .

Menyatakan bahwa soteriologi kurban Yesus muncul dalam pikiran Paulus lalu dia menuliskannya karena ilham atau wahyu dari Allah, adalah sebuah pendapat yang tak bisa dibuktikan secara akademik, melainkan hanya bisa diterima dalam iman, dan tak bisa didiskusikan secara saintifik. Bagaimana bisa membuktikan secara empiris bahwa roh Allah (atau malaikat) berbisik atau berbicara kepada seseorang? Bagaimana bisa membuktikan secara empiris objektif bahwa roh Allah (atau malaikat) itu memang ada dan kehadirannya dirasakan oleh seorang mukmin? Tetapi neurosains bisa memperlihatkan bahwa semua gejala keagamaan ini diproses dalam neuron-neuron otak manusia, tanpa perlu menghipotesiskan bahwa suatu roh gaib supernatural masuk ke dalam otak manusia!

Kesadaran dalam batin dan pikiran seseorang, misalnya Paulus, bahwa sesuatu itu benar atau sesuatu itu salah, bahwa menganiaya atau membunuh orang yang berkeyakinan lain adalah jahat dan keji dan harus tidak dilakukan, muncul bukan karena bisikan roh halus atau bisikan malaikat atau bisikan Allah (jika ini diklaim, klaim ini tak bisa dibuktikan, karena merupakan klaim pribadi yang sangat subjektif mengenai suatu dunia yang tidak empiris), melainkan karena di dalam neuron-neuron otaknya sudah tersimpan ajaran-ajaran moral yang ditanamkan sejak kecil melalui berbagai media pembelajaran, di dalam rumah orangtuanya maupun di dalam masyarakatnya.

Rasa bersalah atau rasa berdosa (entah kepada suatu konsep tentang Allah atau kepada suatu ajaran) muncul sebagai suatu tanggapan neurologis dalam otak manusia terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai moral seseorang yang juga sudah tertanam dalam otaknya, khususnya dalam frontal lobes otaknya. Otak kitalah, bukan Allah, yang membuat kita merasa bersalah, menyesal, atau ingin bertobat.

Seorang yang ateis sejati, juga bisa merasa bersalah meskipun dia tidak percaya sama sekali pada adanya Allah, karena dia juga memiliki otak yang bekerja normal. Sebaliknya, orang yang sangat fanatik beragama, dan sangat rajin sembahyang, jika bagian-bagian tertentu otaknya rusak, dapat membunuh sesamanya yang berbeda dari dirinya dengan tanpa merasa bersalah sedikitpun, bahkan, pada tingkat yang ekstrim, dapat yakin bahwa tindakan kejinya ini dikehendaki Allahnya--- problem dirinya terutama adalah otaknya, dan content  keras indoktrinasi yang masuk ke dalam organ lunak di kepalanya ini, bukan Allahnya!

Nah, karena rasa bersalah yang besar ini, perubahan sangat drastis terjadi pada Paulus, sungguh-sungguh, sampai-sampai dia menyatakan agama Yahudi adalah "sampah" baginya ketika dia sudah jadi Kristen (Filipi 3:8b). Tetapi belakangan, dia menampakkan diri sangat plin plan, ketika dia kembali menerima otentisitas dan kebenaran agama Yahudi, kebenaran Taurat, khususnya hal ini dinyatakannya dalam surat Roma mulai pasal 9.

Bahwa Paulus sangat plin plan, dapat dengan jelas terbaca dalam surat-suratnya, khususnya pada topik mengenai hukum Taurat. Bacalah dengan seksama surat Galatia seluruhnya, dan catatlah bagaimana sinisnya Paulus dalam surat ini terhadap hukum Taurat, lalu pindahlah ke surat Roma, khususnya mulai pasal 9, dan perhatikanlah di dalamnya perubahan drastis sikap dan pandangan Paulus yang menjadi sangat positif terhadap kedudukan unik bangsa Israel sebagai umat pilihan Allah Yahudi, dan dengan demikian terhadap Taurat Musa! Jika Paulus sampai dapat kembali mengakui status unik pemilihan Allah atas etnis Israel (bangsa Yahudi), berarti dia juga menerima Taurat sebagai hukum Allah yang absah, sebab etnis Israel sama sekali tak dapat dipisahkan dari Taurat dan seluruh Tenakh (yang dengan melecehkan disebut oleh gereja sebagai Perjanjian Lama, sebuah kumpulan kitab yang sudah usang, sudah lama, sudah tua, ketinggalan zaman, sehingga harus dibarui atau diganti oleh sebuah kumpulan kitab lain yang gereja dengan takabur namakan Perjanjian Baru (lihat Ibrani 8:13)

Mengapa Paulus jadi plin plan? Psikologi dan teologi bisa menjelaskannya. Setelah dia terlepas dari rasa berdosa yang teramat berat (psikologi) lewat soteriologi kurban Yesus (teologi, yang diciptakannya sendiri dengan "ada udang di balik batu"), dan dapat hidup dengan perasaan lega, santai dan merdeka (psikologi) (bdk. Galatia 5:1 dst), maka dia mulai masuk kembali perlahan ke dalam agama Yahudi yang sudah ditiinggalkan sebelumnya, dengan dia menegaskan kembali  keabsahan pemilihan Israel sebagai umat pilihan Allah yang tak pernah Allah buang, dan dengan demikian juga keabsahan Taurat (teologi dalam Roma 9-11, dan seterusnya).

Sebagai seorang bekas penganiaya (dan pembunuh) manusia yang berkeyakinan lain, Paulus mengalami banyak problem kejiwaan; dengan beberapa indikasinya adalah dia mondar mandir dalam keyakinan keagamaannya, sangat mudah marah dan berang terhadap orang yang berbeda darinya atau menentang dirinya (bacalah dengan seksama surat Galatia), dan, sebaliknya, sangat begitu mudah mencucurkan air mata karena kesedihan yang berlarut-larut (bacalah surat 2 Korintus). Dulu dia buang agama Yahudinya, karena baginya (setelah jadi Kristen alirannya sendiri) Yudaisme adalah sampah. Setelah reda rasa berdosanya terhadap Yesus dan gereja (diredakan oleh teologinya sendiri!), dia bisa jadi merasa berdosa lagi pada agama Yahudi, pada Taurat, yang sudah ditinggalkannya dan dihinanya (misalnya, katanya, dalam Galatia 3:10, 13, Taurat itu bukan rakhmat, tetapi kutuk!), sehingga dia belakangan (dalam surat Roma, khususnya mulai pasal 9) merasa harus merevisi kembali pandangannya yang sumbang terhadap Taurat dan etnis Israel, supaya dia diterima kembali ke dalam pangkuan Musa! Figur Rasul Paulus memang suatu figur penuh paradoks kejiwaan. 

Paulus pribadi tak pernah dalam surat-surat aslinya (ada 8 dalam PB) menceritakan pengalaman yang menurut Kisah Para Rasul (KPR) terjadi pada dirinya dalam perjalanan ke Damsyik, yakni pengalaman bertemu Yesus dalam wujud cahaya, yang dalam antropologi kultural disebut fotisme. Fotisme ini membuatnya buta lalu disusul dengan pertobatannya (ada sedikitnya dua versi berbeda dalam KPR sendiri tentang fotisme yang dialami Paulus).

Demi memberi kewibawaan ilahi pada dirinya sebagai seorang pemuka keagamaan, setiap orang dapat mengklaim diri menerima fotisme (bukan hanya fotisme berupa wajah Yesus yg tak pernah kita ketahui bagaimana wujud aslinya; fotisme wajah Bunda Maria juga sering diberitakan terjadi, atau fotisme wajah Elvis Presley!). Fotisme adalah sesuatu yang sangat subjektif, hanya ada dalam brain manusia, tak pernah bisa dibuat fotonya secara objektif oleh sebuah kamera modern.



Dua buah kisah berbeda tentang fotisme yang dialami Paulus dalam KPR bukan sebuah laporan sejarah yang bisa dibuktikan faktualitasnya secara objektif; melainkan kisah-kisah fiktif teologis yang diinvensi oleh penulis KPR untuk tujuan memberi kewibawaan ilahi pada status Paulus yang sudah mengangkat dirinya sendiri menjadi rasul Yesus Kristus, karena si penulis KPR ini (yang menulis karya teologinya ini beberapa dasawarsa setelah Paulus wafat) tahu betul bahwa kelemahan kerasulan Paulus adalah bahwa dia tak pernah bertemu dan bergaul dengan Yesus dari Nazaret sebagai salah seorang murid atau rasulnya.

Jika kisah fotisme yang dikisahkan dalam KPR dialami betulan oleh Paulus, mustinya Paulus akan banyak menyebut kejadian ini dalam surat-surat aslinya untuk menjadi landasan pembenar paling ampuh atas status kerasulannya yang memang terus dipersoalkan banyak orang (tentang ini, saya sudah eksplorasi panjang lebar dalam buku saya, Menguak Kekristenan Yahudi Perdana: Sebuah Pengantar (2009)); nyatanya Paulus sama sekali tak pernah menyebut tentang fotisme ini dalam surat-surat aslinya. Jadi, artinya, fotisme yang dikisahkan dalam KPR tak pernah terjadi betulan dalam kehidupan pribadi Paulus.  

Kisah-kisah fotisme dalam KPR ini, dilihat dari literary genre-nya (jenis sastranya), tak berbeda dari kisah dalam injil-injil tentang langit terbuka pada waktu Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis, lalu roh kudus turun seperti burung merpati ke atasnya, disertai dengan terdengarnya suara Allah dari sorga yang mengangkatnya menjadi Anak Allah. Jelas sekali, kisah dalam injil-injil ini bukan kisah sejarah (tak bisa diambil gambarnya dan direkam suaranya oleh sebuah handycam modern!), tetapi fiksi-fiksi teologis yang dikarang untuk tujuan-tujuan tertentu, antara lain untuk memberi legitimasi ilahi atas pemberian gelar "Anak Allah" kepada Yesus oleh gereja perdana.

Yang sungguh faktual terjadi dalam kisah-kisah fiktif ini hanyalah pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis, dan orang banyak yang melihatnya dibaptis. Hal-hal lainnya yang gaib (langit terbuka, roh berupa merpati yang turun, dan suara Allah dari langit) adalah fiksi teologis atau mitologi karangan para penulis injil-injil PB. Jika seseorang dengan kepala batu menyatakan bahwa semua hal yang gaib ini dapat diambil gambarnya dan direkam suaranya oleh sebuah handycam modern, orang ini sesungguhnya memiliki suatu problem serius dengan kesehatan otaknya.  

Jadi, implikasinya, jangan cari sejarah dalam KPR, baik sejarah gereja awal maupun sejarah Rasul Paulus (atau rasul-rasul lainnya), sebab KPR bukan memuat sejarah, melainkan berkisah tentang teologi, tentang bekerja dan berbisiknya roh kudus pada telinga-telinga orang-orang, dan tentang intervensi dunia supernatural ke dalam dunia natural--- semuanya bukan kisah sejarah faktual, tidak objektif ada, tetapi teologi, atau lebih tepat mitologi atau metafora. Kalaupun KPR masih bisa memberi suatu sumbangan bagi kajian-kajian modern atas kekristenan perdana, sumbangannya ini sangat, sangat minim. Dan ..., perlakukanlah setiap tulisan dalam kitab suci anda menurut jenis sastranya, dan jangan sekali-kali memperlakukan kitab suci apapun sebagai sebuah buku sejarah, sebuah buku futurologi, atau sebuah buku sains.

Dalam surat-surat asli Paulus (KPR bukan tulisan Paulus), dia tak pernah berkisah secara detil mengapa dia berubah menjadi Kristen (Kristen alirannya sendiri tentu saja!); dia hanya mengaku pernah mengalami atau menerima suatu revelasi yang sama sekali bukan fotisme (2 Korintus 12:1-10; juga Galatia1:12).

Bungkamnya Paulus mengenai ihwal mengapa dia menjadi Kristen, dan memandang agamanya semula sebagai sampah, mengindikasikan Paulus tak mau terbuka betul kepada publik bahwa dia sebenarnya pernah dikuasai rasa berdosa dan rasa bersalah besar pada orang Kristen. Jika dia akui hal ini, kewibawaan yang sedang dibangunnya akan hancur lagi dengan begitu cepat. Apalagi jika Paulus sampai harus berterusterang bahwa doktrin tentang pembenaran lewat kurban Yesus dibangunnya demi membenarkan dirinya sendiri! Rasa bersalahnya, dan amarah terhadap diri sendiri karena dikejar terus oleh rasa bersalah ini, dilampiaskannya pada agama lamanya, agama Yahudi, dengan mengatainya sebagai sampah! Para pembaca pertama surat-suratnya hanya tahu bahwa Paulus dulu pindah agama, masuk Kristen, tetapi mereka tidak tahu apa penyebab Paulus ganti agama (Galatia 1:23) (Versi KPR tentang penyebab fiktf pertobatan Paulus belum diketahui para pembaca pertama surat-surat asli Paulus ketika sang rasul ini masih hidup).

Nah, tulisan pendek ini sudah bisa menyingkap ihwal mengapa Paulus pindah agama dan sampai perlu mengonstruksi soteriologi salib. Landasan utama tulisan ini adalah surat-surat asli Paulus yang ada dalam Perjanjian Baru, bukan apa kata orang lain tentang Paulus. Jika ada orang yang tak setuju dengan penjelasan yang diajukan dalam tulisan saya ini (kata orang ini, Apapun yang ditulis Ioanes Rakhmat, tulisannya harus ditolak!) tentang hal-hal yang menyebabkan Paulus pindah agama, masuk Kristen (alirannya sendiri), silakan beri penjelasan alternatif yang bisa didiskusikan secara akademik.

Misalnya penjelasan alternatif bahwa Paulus pindah agama, masuk Kristen (alirannya sendiri), karena perpindahan ini akan sangat menguntungkan posisi politisnya dalam masyarakatnya. Atau karena dia melihat, ada lahan garapan baru di dunia Kristen yang akan bisa mengangkat pamornya lebih tinggi, misalnya menjadi seorang rasul ketimbang hanya menjadi seorang ahli agama Yahudi aliran Farisi. Atau bahwa perpindahannya ini direkayasa oleh kalangan tertentu yang ingin mengendalikan gerakan kelompok-kelompok Kristen yang militan dalam dunia Yunani-Romawi sehingga mereka dengan matang mempersiapkan Paulus, lalu menyelundupkannya ke dalam gerakan ini sebagai seorang spy./*/
-----------------
 
/*/ Penjelasan bahwa Paulus adalah seorang agen mata-mata (spy) yang diselundupkan ke dalam gerakan kalangan Kristen yang militan di dunia Yunani-Romawi, yang tentu ditolak orang Kristen masa kini yang hidup atau mati pro-Paulus (yakni orang Kristen Reformed), patut dengan serius dipertimbangkan, mengingat bahwa kemudian (setelah Paulus wafat) teologinya diadopsi oleh bapak-bapak gereja (Barat) dan ditahbis sebagai teologi ortodoks Kristen Barat.

Kita tahu, bahwa lewat sekian bapak gereja (khususnya Eusebius), Kaisar Konstantinus (abad keempat) jadi mengetahui kekristenan Barat ini dan teologi utamanya, yang memandang Yesus Kristus (bukan Yesus dari Nazaret) sebagai kurios (tuhan) atau theos (allah) yang dengan segala kebesaran adikodratinya sedang bertakhta di surga. Karena gerakan Kristen yang disemangati dan dihidupi oleh teologi Paulus ini sangat militan pada abad-abad pertama Masehi (sesudah Paulus wafat), dan khususnya pada abad keempat, tentu saja ada orang-orang tertentu dari gerakan ini yang bisa masuk ke lembaga-lembaga politik yang dekat dengan puncak kekuasaan yang digenggam Konstantinus. (Bayangkan saja bagaimana kelompok-kelompok Islam militan fundamentalis di Indonesia kian hari kian menguasai lembaga-lembaga tinggi negara RI belakangan ini).

Tampaknya Paulus, meskipun menurut tradisi akhirnya dia mati syahid di Roma, memang dipersiapkan untuk membuat kekristenan ortodoks Barat, khususnya teologinya yang menempatkan Yesus dalam jajaran para Kaisar Roma yang diilahikan (1 Korintus 8:5-6), pada saatnya siap diadopsi dan dikooptasi ke dalam ideologi religio-politik Romawi dan struktur hierarkis negara Roma, yakni ketika kekristenan Paulus dijadikan agama resmi (religio licita) kekaisaran Romawi (oleh Kaisar Theodosius) dan Yesus Kristus ditempatkan sebagai "sang mitra ilahi" Kaisar Konstantinus dan kaisar-kaisar lainnya. Tanpa Paulus, kekristenan  ortodoks Barat tak akan ada, atau kalaupun ada, isi teologinya akan lain. Jika betul Paulus dipersiapkan jauh ke depan, orang atau kalangan yang mempersiapkannya sungguh sangat visioner dan futuris, karena, incredibly, bisa melihat jauh ke depan, ke suatu zaman tiga abad sesudah kematian Paulus!

Dengan cara itulah, kekristenan ortodoks dijinakkan dan ditaklukkan oleh Kekaisaran Romawi, dan diubah organisasinya menjadi paralel dengan organisasi hierarkis negara Roma, dan diberi nama Gereja Katolik Roma yang memberlakukan hierarki dalam struktur organisasinya.

Orang Kristen sering naif berpikir bahwa kekristenan ortodoks Barat berhasil menaklukkan kekaisaran Romawi; padahal, in reality, sebaliknyalah yang terjadi: Roma menaklukkan kekristenan dan membunuh suara profetisnya yang seharusnya mengkritik, bukan melegitimasi, kekuasaan setiap Kaisar. Lewat pengangkatan Yesus Kristus menjadi Tuhan Romawi pada abad keempat, Yesus dari Nazaret yang hidup pada abad pertama ditawan dan disalibkan lagi!       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar