Jumat, 09 Maret 2012

Pemikiran Tentang Tuhan

(a). Hakekat Tuhan.
Sebelum membicarakan tentang hakikat Tuhan dan sifat-sifat-Nya, ia terlebih dahulu memberi wujud yang ada kepada dua bagian yaitu:
  1. Wujud yang mumkin, atau wujud yang nyata karena lainnya (wajibul-wujud lighairihi), seperti wujud cahaya yang tidak akan ada, kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa tidak wujud. Atau dengan perkataan lain cahaya adalah wujud yang mumkin, maka cahaya tersebut menjadi wujud yang nyata (wajib) karena matahari. Wujud yang mumkin tersebut menjadi bukti adanya sebab yang pertama (Tuhan), karena segala yang mumkin harus berakhir kepada sesuatu wujud yang nyata dan yang pertama kali ada. Bagaimanapun juga panjangnya rangkaian wujud yang mumkin itu, namun tetap membutuhkan kepada sesuatu yang memberinya sifat wujud, karena sesuatu yang mumkin tidak bisa memberi wujud kepada dirinya sendiri.
  2. Wujud Yang Nyata dengan sendirinya (Wajibul-wujud li Dzatihi). Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya, yaitu wujud yang apabila diperkirakan tidak ada, maka akan timbul kemuslihatan sama sekali. la adalah sebab yang pertama bagi semua wujud. Wujud yang wajib tersebut dinamakan Tuhan (Allah)[16].

Tuhan adalah wujud yang sempurna, ada tanpa sesuatu sebab, kalau ada sebab bagi-Nya, maka adanya Tuhan tidak sempurna lagi, berarti ada Tuhan bergantung kepada sebab yang lain. Tuhan adalah wujud yang mulia yang tidak berawal dan tidak berakhir, sebagai sebab pertama berarti Tuhan tidak ada yang mengawali, Tuhan juga wujud yang paling mulia, karena tidak memerlukan yang lain. Lain halnya dengan wujud yang mungkin (makhluk) yang terdiri dari Dzat dan bentuk, pada Tuhan tidak demikian adanya.
Apabila Tuhan terdiri dari unsur-unsur, maka dengan sendirinya akan terdapat susunan, bagian-bagian pada substansi-Nya. Jadi Tuhan adalah substansi yang tiada bermula, sudah ada dengan sendirinya dan akan ada untuk selamanya.
Karena itu ia adalah substansi yang azali, yang ada dari semula dan selalu ada. Substansinya itu sendiri telah cukup jadi sebab bagi keabadi wujud-Nya[17].
Tuhan Maha Esa, Maha Sempuma, karena kesempumaan wujud Tuhan tak ada yang menyamai, maka wujudnya tak mungkin terdapat pada selain Tuhan, tidak ada yang seperti wujudnya. Dan tiada sekutu bagi dirinya.
Tuhan itu Maha Esa, tidak terbatas dalam segala sesuatunya, bila terdapat hal-hal yang membatasi maka berarti Tuhan tidak Esa lagi. Tuhan tidak dapat dirumuskan sama sekali dengan batasan yang akan memberi pengertian pada manusia, sebab suatu batasan berarti suatu penyusunan yang akan menggunakan golongan dan pembedaan atau digunakan pengertian Dzat dan bentuk, seperti memberi definisi kepada sesuatu benda atau barang. Lain halnya dengan benda sebagaimana juga manusia, yang dapat diberi definisi sehingga dapat.diketahui pengertian tentang manusia. Pada manusia dapat didefinisikan sebagai hewan yang berakal, hewan menunjukkan golongan, sedangkan berakal menunjukkan perbedaan yang ada dari golongan. Namun Tidak demikian dengan Tuhan yang Mutlak, sebagai substansi, oleh sebab itu definisi tentang Tuhan mustahillah dapat dirumuskan. Suatu rumus definisi tentang Tuhan berarti akan menghilangkan keesaan Tuhan, hal dikemukakan oleh Al-Farabi dalam pendapatnya.
Karena Tuhan itu tunggal sama sekali, maka batasan (definisi) tentang Dia tidak dapat diberikan sama sekali. Karena batasan berarti suatu penyusunan yaitu dengan memakai spesies dan differentia (an nau wal fasl) atau dengan memakai hule dan form seperti halnya denga jauhar (benda) sedangkan kesemua itu adalah mustahil bagi Tuhan[18].  
Maka dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian tentang Tuhan menurut pendapat Al Farabi adalah, Tuhan adalah wujud yang wajib, wujud yang wajib itu merupakan sebab yang pertama dari dari segala wujud yang mumkin (makhluq), oleh karena itu Tuhan adalah substansi yang Azali. Karena Tuhan Maha Sempurna tidak ada yang lebih sempurna kecuali wujud-Nya, sehingga tidak perlu sekutu bagi-Nya. Tuhan Maha Esa, Maha Sempurna, maka keesaan dan kesempurnaan wujud-Nya tidak mungkin diwujudkan dalam definisi sebagaimana benda sebab suatu definisi akan menghilangkan ke Esaan dan kesempurnaan wujud Tuhan, Tuhan tidak lagi substansi yang tidak terbatas karena definisi akan membatasi Tuhan yang Mutlak.
(b). Sifat Tuhan
Dalam metafisikanya tentang ketuhanan Al Farabi hendak menunjukkan keesaan Tuhan dan ketunggalan-Nya. Bahwa Sifat Tuhan tidak berbeda dari Dzat-Nya. Karena Tuhan adalah Tunggal. Hal ini sejalan dengan Mu’tazilah yakni sifat Allah tidak berbeda dengan Dzat-Nya. Dengan kata lain ketika sifat sifat Allah itu berbeda dengan substansi-Nya atau diberi sifat yang wujud sendiri dan kemudian melekatkanya pada Allah maka sifat-sifat tersebut menjadi qodim pula sebagaimana substansiya yang bersifat qodim.
Hal ini akan membawa paham ta’addud al qudama’ (berbilangnya yang qodim). Yang mana hal tersebut tidak boleh terjadi pada Dzat Allah yang Maha Esa. Karena yang bersifat qodim itu hanya Allah maka ketika ada sesuatu yang qodim Ia mesti Allah[19].
Untuk tahu dan yakin tentang Essensi dan wujud tuhan menurut Al Faraby tidak perlu menambahkan sifat sifat tertentu pada pada Dzat Nya. Hal tersebut disebabkan karena pengetahuan tentang Dzat Tuhan lebih nyata dan yakin dari pengertahuan kita terhadap selain Nya. Sebab Tuhan adalah wujud yang paling sempurna maka pengetahuan tentang Dia adalah pengetahuan yang paling sempurna pula[20].
Allah bagi Al Farabi adalah ‘Aql murni. Ia Esa ada-Nya dan yang menjadi obyek pemikiran-Nya hanya substansi-Nya. Ia tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk memikirkan substansi-Nya. Tetapi cukup substansi-Nya sendiri. Jadi Allah adalah ‘Aql, ‘Aqil dan Ma’qul (Akal, substansi yang berpikir, dan substansi yang dipikirkan)[21].
Demikian juga Allah Maha Tahu, Ia tidak membutuhkan sesuatu diluar Dzat-Nya untuk untuk tahu bahkan cukup dengan substansi-Nya saja. Jadi Allah adalah ilmu, substansi yang mengetahui, dan substansi yang diketahui (Ilm’, ‘Alim, dan Ma’lum)[22].
Tentang Asma’ Al Husna, Menurut Al Faraby kita boleh saja menyebutkan nama-nama tersebut sebanyak yang kita inginkan tetapi nama tersebut tidak menunjukkan adanya bagian-bagian pada Dzat Allah atau sifat yang berbeda dari Dzat Nya[23].
  1. 2. Pembuktian Adanya Tuhan

Dalam membuktikan adanya Tuhan ada beberapa dalil yang dapat digunakan sebagai dalil ontologi dalil teleologi dan dalil kosmologi. Para pemikir Yunani menggunakan dalil-dalil tersebut (ontologi, teleologi dan kosmologi) untuk sampai kepada kesimpulan tentang adanya Tuhan. Hal seperti itu diikuti pula oleh para pemikir Islam. Di antara dalil yang banyak dipakai adalah dalil ciptaan atau dalil kosmologi menurut istilah meta fisika.
Dalil kosmologi melihat alam sebagai makhluk suatu akibat yang terakhir dalam rangkaian sebab dan akibat. Dengan melalui rentetan sebab akibat yang berdiri sendiri-sendiri, tetapi dalam hal ini ada hubungannya sebagai sebab-sebab dan akibat-akibat pada akhimya hubungan sebab akibat akan berhenti satu sebab yang pertama, karena pada dasarnya kita tidak dapat memikirkan adanya rentetan sebab akibat yang tidak berkesudahan (berkeputusan).
Selanjutnya, sebab pertama yang dicapai oleh rentetan sebab akibat itu dengan sendirinya bukan merupakan akibat. Jadi sebab pertama itu merupakan kesudahan dari rentetan hubungan sebab dan akibat. Al Farabi dalam membuktikan adanya Tuhan menggunakan dalil penciptaan ini. Bertitik tolak dari kenyataan yang disentuh dengan pancaindera (makhluk) untuk kemudian sampai kepada pangkal pertama atau dari wujud yang nungkin kepada wujud yang Wajib.
Pangkal pertama dari wujud yang mungkin ini tidak dapat. ditangkap dengan pancaindera. Jelasnya Al Farabi menggunakan dalilnya atas dasar pemikiran mungkin dan wajib. Menurut Al Farabi “setiap sesuatu yang ada dasamya ada kemungkinan adanya” dan “ada pula wajib adanya”.
Kemungkinkan adanya itu hendaklah ia mempunyai illat yang tampil mengutamakan adanya itu lalu memutuskan adanya dan kemudian mengadakanya ke alam wujud ini. Dan illat-illat ini tidaklah mungkin beredar dalam lingkungan yang tidak berakhir (vicious circle). Tetapi ia itu hendaklah berhenti pada satu titik “adanya” wajibul wujud “Allah” yang Illat itu tidak ada dalam mewujudkannya.
Segala sesuatu yang ada, pada dasarnya hanya mempunyai dua keadaan pertama ada sebagai kemungkinan disebut wujud yang mungkin, ada sebagai keharusan disebut dengan wujud yang wajib. Dalam keadaan yang pertama adanya ditentukan oleh adanya yang lain, dan keadaan kedua, adanya tanpa sesuatu yang lain atau ada dengan sendirinya dan Sebagai keharusan.
Wujud yang mungkin, adanya dapat disebabkan oleh wujud yang mungkin lainnya. Sebagai contoh suatu buah sebagai wujud yang mungkin buah itu merupakan akibat dari sebab perkawinan antara serbuk sari jantan dan sebuk sari betina yang ada pada pohon, pohon tersebut juga sebagai Wujud yang mungkin dari sebab biji buah yang ditanam. Dari rentetan tersebut tidaklah mungkin terjadi perputaran yang melingkar atau sebab akibat yang tanpa berkesudahan.
Suatu rangkaian yang kejadian pada akhirnya akan berhenti suatu titik akhir yaitu berkesudahan pada wujud yang wajib. Sebagai sebab pertama dari segala wujud yang mungkin. Wujud yang mungkin ditentukan oleh sebab yang lain, wujud yang wajib itu sendiri, yang disebut dengan Tuhan (Allah). Pembuktian dengan kosmologi seperti yang dilakukan oleh Al Farabi termasuk dalil sederhana mudah dimengerti, tetapi kelemahan dalil ini berpangkal suatu keyakinan yang mengharuskan adanya Tuhannya. Jadi merupakan peloncatan pikiran dari kesimpulan adanya sebab pertama atau wujud wajib yang harus diyakininya, bahwa sebab pertama itu adalah Tuhan.
  1. E. Teory Emanasi (Al Faidl) Al Faraby

Emanasi adalah teori tentang keluarnya sesuatu yang wujud mumkin (alam makhluk) dari Dzat yang wajibul wujub (Dzat yang Mesti Adanya/Tuhan). Teori Emanasi disebut juga teori “urut-urutan wujud[24]
Teori ini sebenamya terdapat pula dalam paham Neo-Platon. Perbedaan antara keduanya yaitu terletak uraian Al-Farabi yang ilmiah. Menurut teori emanasi Al-Farabi disebutkan bahwa Tuhan itu Esa sama sekali. Karena itu yang keluar dari pada Nya juga satu wujud saja, emanasi itu timbul karena pengetahuan (ilmu) Tuhan terhadap Dzat-Nya satu. Kalau apa yang keluar itu pun berbilang pula. Dasar adanya emanasi tersebut ialah karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan. Dalam alam manusia sendiri apabila kita memikirkan sesuatu, maka tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau wujudnya.
Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut Akal Pertama, mengandung dua segi. Pertama segi hakikatnya sendiri (tabi’at, wahiyya) yaitu wujud yang mumkin. Kedua segi lain yaitu wujudnya yang nyata yang terjadi karena adanya Tuhan sebagai Dzat yang menjadikan. Sekalipun akal pertama tersebut satu (tunggal), namun pada dirinya terdapat bagian-bagian yaitu adanya dua segi tersebut yang menjadi obyek pemikirannya. Dengan adanya segi-segi ini, maka dapat dibenarkan adanya bilangan pada alam sejak dari Akal Pertama.
Dari pemikiran Akal pertama dalam kedudukannya sebagai wujud yang wajib (yang nyata) karena Tuhan, dan sebagai wujud yang mengetahui dirinya maka keluarlah Akal Kedua. Dari pemikiran Akal Pertama dalam kedudukannya sebagai wujud yang mumkin dan mengetahui dirinya, timbullah langit pertama atau benda lanjut terjauh (as-sama al-ula; al al-a’la) dengan jiwanya sama sekali jiwa langit tersebut. Jadi dari dua obyek pengetahuan yaitu dirinya dan wujudnya yang mumkin keluarlah dua macam makhluk tersebut yaitu bendanya benda langit dan jiwanya
Dari Akal Kedua timbullah Akal Ketiga dan langit kedua atau bintang-bintang tetap (al-kawakib ats-tsabitah) beserta jiwa dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada Akal Pertama.
Dari Akal Ketiga keluarlah Akal Keempat dan planet Satumus (Zuhal), juga beserta jiwanya. Dari Akal Keempat keluarlah Akal Kelima dan planet Yupiter (al-Musytara) beserta jiwanya. Dari Akal Kelima keluarlah Akal Keenam dan planet Mars (Madiah) beserta jiwanya. Dari Akal Keenam keluarlah Akal Ketujuh dan matahari (as-Syams) beserta jiwanya. Dari Akal Ketujuh keluarlah Akal Kedelapan dan planet Venus. (az-Zuharah) juga beserta jiwanya. Dari Akal Kedelapan keluarlah Akal Kesembilan dan planet Mercurius (‘Utarid) beserta jiwanya pula. Dari Akal Kesembilan keluarlah Akal Kesepuluh dan bulan (Qamar). Dengan demikian maka dari satu akal keluarlah satu akal dan satu planet beserta jiwanya.
Dari Akal Kesepuluh sesuai dengan dua seginya yaitu wajibul-wujud karena Tuhan maka keluarlah manusia beserta jiwanya. Dan dari segi dirinya yang merupakan wujud yang mumkin, maka keluarlah empat unsur dengan perantaraan benda-benda langit. Dan di akal ke X ini dayanya sudah lemah sehingga sudah tidak bisa menghasilkan akal yang sejenisnya.
Jumlah akal dibataskan kepada bilangan sepuluh, hal ini sesuaikan dengan bintang yang berjumlah sembilan di mana untuk tiap-tiap  akal diperlukan satu planet pula, kecuali akal pertama yang tidak disertai satu planet ketika keluar dari Tuhan.
Stuktur Emanasi Al Faraby saat itu dipengaruhi oleh temuan saintis yang pada saat itu jumlah bintang adalah sembilan, karena jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujuh. Kemudian al-Farabi menambah dua lagi yaitu benda yang terjauh (al-falak al-aqsha) dan bintang-bintang tetap (al-kawakib ats-tsabitah), yang diambil dari Ptolomey (atau Caldius Ptolomaeus) seorang ahli astronomi dan ahli bumi Mesir, yang hidup pada pertengahan abad ke dua Masehi.
Demikianlah, maka jumlah akal ada sepuluh, sembilan di antaranya mengurus benda-benda langit yang sembilan, dan akal kesepuluh yaitu Bulan mengawasi dan mengurangi kehidupan di bumi. Akal-akal tidak berbeda, tetapi merupakan pikiran selamanya. Kalau pada Tuhan yaitu wujud yang pertama, hanya terdapat satu obyek pemikiran yaitu Dzat-Nya, maka pada akal-akal tersebut terdapat dua obyek pemikiran, yaitu Dzat yang wajibul-wujud dan diri akal-akal itu senditi[25].
Namun menurut hemat penulis, sekiranya Al Faraby hidup di jaman ini maka tentu saja ia akan membutuhkan banyak sekali akal, sebanyak planet yang ditemukan saintis sekarang.
Untuk lebih jelasnya penulis membuatkan tabel Teori Emanasi oleh Al Faraby:
Tabel Teori Emanasi oleh Al Faraby
(Subyek)
Akal yang ke-
SifatBerpikir TentangKeterangan
Allah Sebagai Wajib Al Wujud, MenghasilkanDirinya sendiri sebagai Mumkin Al Wujud, Menghasilkan
IMumkin WujudAkal    IILangit PertamaMasing-Masing akan mengurusi Satu Planet
IISdaAkal  IIIBintang-bintang
IIISdaAkal  IVSaturnus
IVSdaAkal    VYupiter
VSdaAkal  VIMars
VISdaAkal VIIMatahari
VIISdaAkal VIIIVenus
VIIISdaAkal  IXMerkurius
IXSdaAkal   XBulan
XSdaBumi, Roh, Materi pertama yang menjadi keempat unsur: Udara, Air, Api, Tanah.Akal ke X tidak lagi memancarkan akal-akal berikutnya, Karena kekuatannya sudah lemah
  1. F. KESIMPULAN

Dari beberapa uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa:
  1. Hakekat wujud menurut Al Faraby adalah terbagi menjadi dua bagian yaitu: Pertama Wujud yang mumkin, atau wujud yang nyata karena lainnya (wajibul-wujud lighairihi), Wujud yang mumkin tersebut menjadi bukti adanya sebab yang pertama (Tuhan), karena segala yang mumkin harus berakhir kepada sesuatu wujud yang nyata dan yang pertama kali ada. Dan Kedua Wujud Yang Nyata dengan sendirinya (Wajibul-wujud li Dzatihi). Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya, la adalah sebab yang pertama bagi semua wujud. Wujud yang wajib tersebut dinamakan Tuhan (Allah).
  2. Pengertian tentang Tuhan menurut pendapat Al Farabi adalah, Tuhan adalah wujud yang wajib, wujud yang wajib itu merupakan sebab yang pertama dari dari segala wujud yang mumkin (makhluq), oleh karena itu Tuhan adalah substansi yang Azali. Karena Tuhan Maha Sempurna tidak ada yang lebih sempurna kecuali wujud-Nya, sehingga tidak perlu sekutu bagi-Nya. Tuhan Maha Esa, Maha Sempurna, maka keesaan dan kesempurnaan wujud-Nya tidak mungkin diwujudkan dalam definisi sebagaimana benda sebab suatu definisi akan menghilangkan ke Esaan dan kesempurnaan wujud Tuhan, Tuhan tidak lagi substansi yang tidak terbatas karena definisi akan membatasi Tuhan yang Mutlak.
  3. Emanasi adalah teori tentang keluarnya sesuatu yang wujud mumkin (alam makhluk) dari Dzat yang wajibul wujub (Dzat yang Mesti Adanya/Tuhan). Teori Emanasi disebut juga teori “urut-urutan wujud

DAFTAR RUJUKAN
Al Farabi, Ara’ Ahl Madinah Al Fadhilah, Kairo Maktabat Mathaba’at Muhammad ‘Ali tt.
Al Jisr Nadim. 1976. Kisah Mencari Tuhan, jil.1. Terj. A. Hanafi Jakarta Bulan-Bintang.
Athif Muhammad Al Iraqy. 1978. Al Fal safat Al Islamiyyat, Kairo, Dar Al Ma’arif.
Gazalba Sidi, Drs. 1977. Sistematika Filsafat. Jakarta, PT. Bulan Bintang
Hana Al Fakhury dan Khalil Al Jarr, 1963. Tarikh Al Falsafat A Arabiyyat, Beirut Mu’assasat li al  Thabaat wa al Nasyr. cet. 2. hlm.384.
Hanafi A. MA. 1981. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta. PT Bulan Bintang.
Hyman Arthur & Walsh. James J. 1969. Philosophy in The Middle Ages. Newyork. Publish by Happer
Besthti Muhammad Husaini.2003. God In The Qur an: A Metaphysical Study. Terj. Ilyas. Hasan. Bandung. PT. Arasy.
Nasution Harun. 1973. Teologi Islam. Jakarta. UI
Rayyan Muhammad Ali Abu. Al Falsafat Al Islamiyyah Syakhshiyatuhu Mazahibuha tt: MK. Iskandariyat tt.
Sudarsono, Drs, SH, M.Si. Filsafat Islam. Jakarta. PT. Rineka Cipta
T.J. De Boar. 1954. Tarikh Al Falsafat fi Al Islam. Diterjemahkan kedalam bahasa Arab oleh muhammad Abd Al Hady Abu Zaidah. Kairo. Mathba’ah lajnah Al Ta’lif wa Al Tarjamat.cet.3
Zar Sirajuddin, Prof, Dr, M.A, H. Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, Jakarta. PT. Rajagrafindo Persada


[1].Sirajuddin Zar, Prof, Dr, M.A, H. 2007. Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya. Jakarta. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta. hlm.65)
[2]. Sudarsono, Drs, SH, M.Si. 2004. Filsafat Islam. Jakarta. PT. Rineka Cipta. hal. 30 cet. 2
[3]. Penulis menemukan dua literature yang sama di Sudarsono Ibid. hlm. 30 & A. Hanafi, MA. 1981. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta. PT Bulan Bintang. hlm. 118
[4]. Muhammad Ali Abu Rayyan, Al Falsafat Al Islamiyyah Syakhshiyatuhu Mazahibuha tt: MK. Iskandariyat. tt. hlm. 367 dalam Sirajuddin Zar. Ibid. hlm. 65
[5]. Sirajuddin Zar. Ibid. hlm. 66
[6]. Sudarsono. Op.Cit.hlm. 30
[7]. Sudarsono.Op.Cit.hlm. 30 & A. Hanafi. Op.Cit. 118
[8].  Sudarsono.Op.Cit.hlm. 31 & A. Hanafi. Op.Cit. 119
[9]. Muhammad Ali Abu Rayyan, Hlm. 369 dalam Sirajuddin Zar. Op.Cit.  hlm 66
[10]. Sudarsono.Op.Cit.hlm. 31 & A. Hanafi. Op.Cit. 119
[11]. Arthur Hyman & James J. Walsh. 1969. Philosophy in The Middle Ages. Newyork. Publish by Happer. hal. 370 dalam Sirajuddin Zar. Op.Cit. hlm 67
[12]. Muhammad Ali Abu Rayyan, hlm. 370 dalam Sirajuddin Zar. Op.Cit.  hlm 67
[13]. Sudarsono.Op.Cit.hlm. 31
[14]. Sudarsono.Op.Cit.hlm. 32 & A. Hanafi. Op.Cit. 121
[15]. Muhammad Athif Al Iraqy. 1978. Al Falsafat Al Islamiyyat. Kairo. Dar Al Ma’arif.  hlm 36-37 dalam Sirajuddin Zar.Op.Cit. hlm 68
[16]. Sudarsono.Op.Cit.hlm. 33-34
[17]. Sidi Gazalba, Drs. 1977. Sistematika Filsafat. Jakarta. PT. Bulan Bintang. hlm. 329
[18]. Sidi Gazalba. Ibid. hlm. 133
[19]. Harun Nasution. 1973. Teologi Islam. Jakarta. UI. hlm. 43
[20]. Nadim Al Jisr. 1976. Kisah Mencari Tuhan. Terj. A. Hanafi Jakarta Bulan-Bintang. hlm. 74-75. jil.1
[21]. Al Farabi. Ara’ Ahl Madinah Al Fadhilah. Kairo Maktabat Mathaba’at Muhammad ‘Ali tt. hlm. 389. dalam Sirajuddin Zar. Op.Cit. hlm 73
[22]. Hana Al Fakhury dan Khalil Al Jarr. 1963. Tarikh Al Falsafat Al Arabiyyat. Beirut Mu’assasat li al Thabaat wa al Nasyr. cet. 2. hlm.384. dalam Sirajuddin Zar. Op. Cit. hlm 73
[23]. T.J. De Boar. 1954. Tarikh Al Falsafat fi Al Islam. Diterjemahkan kedalam bahasa Arab oleh Muhammad Abd Al Hady Abu Zaidah. Kairo. Mathba’ah lajnah Al Ta’lif wa Al Tarjamat. cet.3. hlm 162. dalam Sirajuddin Zar.Op.Cit. hlm 73
[24] A. Hanafi. Op.Cit. hlm. 137
[25]. Sudarsono. Op.Cit. hlm. 38-39 & A. Hanafi. Op.Cit. hlm.137-139

Tidak ada komentar:

Posting Komentar